• 34ºc, Sunny
  • Tuesday, 18th June, 2019

Hukum Pidana Materiil: Contoh, Asas, Unsur, dan Perbedaanya dengan Formil

Hukum pidana substansial (materiil) dan formal merupakan dua unsur utama dalam sistem hukum pidana yang saling melengkapi.

Jenis hukum pidana ini merujuk pada esensi atau isi suatu peraturan hukum yang menetapkan larangan atau kewajiban tertentu, beserta sanksi pidana yang diberlakukan jika aturan tersebut dilanggar.

Dalam tulisan ini, akan dibahas secara mendalam mengenai pengertian hukum pidana materiil dan contohnya, dilengkapi dengan perbandingan signifikan antara konsep materiil dan formal dalam konteks hukum pidana.

Dengan memahami konsep-konsep ini, pembaca dapat menyelami lebih dalam bagaimana sistem hukum pidana beroperasi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Apa itu Hukum Pidana Materiil?

Hukum pidana materiil adalah bagian dari hukum pidana yang fokus pada substansi atau inti dari suatu pelanggaran pidana. Cabang hukum pidana ini juga bertanggung jawab mengatur tindakan pelanggaran hukum pidana dan menetapkan sanksi yang berlaku untuk para pelanggar.

Hukum ini umumnya mengatur dan memberikan putusan terhadap individu yang melakukan tindakan yang dianggap merugikan masyarakat. Dengan kata lain, hukum ini mengatasi segala bentuk tindak pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan penipuan yang dijelaskan dalam ranah hukum ini.

Unsur Hukum Pidana Materiil

Hukum pidana materiil melibatkan sejumlah unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana.

Unsur-unsur ini menjadi dasar utama dalam menilai apakah suatu perbuatan melanggar hukum pidana atau tidak.

Sebagaimana disampaikan dalam informasi dari situs resmi Universitas UMSU, unsur-unsur hukum ini mencakup:

Actus Reus adalah tindakan fisik konkret yang terlibat dalam perbuatan yang dapat diobservasi dan diukur secara objektif. Dalam konteks hukum kriminal, ini merujuk pada perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum, seperti pencurian atau pembunuhan.

Mens Rea mengacu pada niat atau kesengajaan batin pelaku dalam melakukan tindakan pidana, termasuk motivasi, tujuan, dan pemahaman pelaku tentang konsekuensi perbuatannya. Ini membantu membedakan tindakan yang disengaja dengan yang tidak disengaja serta menilai tanggung jawab hukum pelaku.

Hubungan Kausalitas mengacu pada hubungan sebab-akibat antara tindakan pelaku dan hasil yang timbul. Ini penting untuk menetapkan bahwa tindakan pelaku berperan dalam terjadinya hasil yang melanggar hukum.

Objektivitas dalam hukum pidana merujuk pada unsur-unsur yang dapat diukur atau diamati tanpa penilaian subjektif. Ini membantu memastikan penilaian didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi secara obyektif, menciptakan standar yang jelas untuk menilai tindakan sebagai tindak pidana.

Subjektivitas adalah faktor-faktor terkait dengan pikiran dan niat pelaku, mencakup aspek seperti niat, kesengajaan, atau pemahaman pelaku tentang perbuatannya. Ini penting dalam menilai kesadaran atau tujuan batin pelaku dalam melakukan tindakan yang diatur oleh undang-undang pidana.

Ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang adalah tindakan melanggar aturan yang ditetapkan oleh undang-undang, termasuk pelanggaran kriminal, peraturan, atau norma hukum. Ini menjadi dasar dalam penegakan hukum untuk menjaga ketertiban dan keadilan.

Asas Hukum Pidana Materiil

Dalam hukum ini, terdapat beberapa asas yang menjadi dasar utama dalam mengatur dan menjalankan norma-norma perilaku hukum dalam masyarakat, seperti yang dijelaskan dalam buku "Pengantar Hukum Indonesia" karya Rahman Syamsuddin. Beberapa asas tersebut meliputi:

  1. Asas Legalitas: Prinsip bahwa tidak ada kejahatan dan hukuman kecuali berdasarkan undang-undang (Nullum crimen, nulla poena sine lege).
  2. Asas Kesalahan: Tidak ada tindakan kejahatan kecuali jika terdapat unsur kesalahan pada pelaku (Nullum crimen sine culpa).
  3. Asas Proporsionalitas: Hukuman harus seimbang dengan keberatan tindakan kejahatan, mempertimbangkan tingkat pelanggaran, dampaknya, dan kepentingan masyarakat.
  4. Asas Individualisasi Hukuman: Hukuman harus disesuaikan dengan karakteristik individu pelaku, mempertimbangkan latar belakang dan kondisi mereka.
  5. Asas Kemanusiaan: Perlakuan manusiawi terhadap pelaku dan narapidana, menjaga hak-hak dan martabat mereka dalam sistem peradilan pidana.
  6. Asas Akuntabilitas: Pelaku kejahatan harus bertanggung jawab atas tindakannya dan menghadapi konsekuensi hukum yang sesuai.
  7. Asas Kesetaraan: Setiap individu memiliki hak yang sama di hadapan hukum tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau faktor lainnya.
  8. Asas Perlindungan Masyarakat: Menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan hukuman sebagai alat pencegahan tindakan kejahatan.
  9. Asas Praduga Tak Bersalah: Seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya secara sah dan meyakinkan dalam proses hukum.
  10. Asas Efek Jera: Hukuman diberikan dengan tujuan mencegah tindakan serupa dan menunjukkan konsekuensi negatif dari pelanggaran hukum.
  11. Asas Balas Dendam: Hukuman diberikan sebagai respons terhadap tindakan kejahatan, untuk membalas atau menghukum pelaku atas perbuatannya.
  12. Asas Rehabilitasi: Mementingkan usaha memulihkan pelaku ke dalam masyarakat melalui program rehabilitasi, dengan harapan agar mereka dapat berubah menjadi individu yang lebih baik.
  13. Asas Restoratif: Fokus pada pemulihan hubungan dan kerugian akibat tindakan kejahatan, dengan tujuan mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.
  14. Asas Pencegahan: Mengarahkan upaya hukum untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan di masa depan, baik melalui efek jera maupun langkah-langkah preventif.

Perbedaan Hukum Pidana Materiil dan Formil

Sebagai salah satu bagian dari hukum pidana, hukum substantif sering kali dianggap mirip dengan hukum formil yang juga termasuk dalam jenis hukum kriminal. Walaupun demikian, keduanya memiliki perbedaan dalam pendekatan terhadap suatu kasus.

Menurut penjelasan dari situs KEPRI POLRI, berikut adalah perbedaan antara hukum pidana materiil dan formil:

Hukum Pidana Materiil

Hukum pidana substantif (materiil) berkaitan dengan substansi atau isi dari tindak pidana, seperti perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan dianggap sebagai kejahatan. Ini mencakup definisi dan unsur-unsur tindak pidana, serta sanksi yang mungkin diberikan kepada pelaku kejahatan. Hukum pidana substantif juga menentukan jenis-jenis tindak pidana, elemen-elemen yang harus terpenuhi agar tindak pidana terbukti, dan hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku.

Hukum Pidana Formil

Sementara itu, hukum pidana formil adalah aturan dan prosedur yang mengatur cara sistem peradilan pidana beroperasi, termasuk proses penyelidikan, penuntutan, dan persidangan. Ini mencakup tata cara pengumpulan bukti, penyelidikan oleh penyidik, pemeriksaan oleh jaksa, dan proses persidangan di pengadilan. Hukum pidana formil memastikan bahwa pelaksanaan hukum pidana dilakukan secara adil, sesuai dengan hak-hak pelaku dan prinsip-prinsip keadilan.

Dengan kata lain, perbedaan antara hukum pidana materiil dan formil terletak pada fokusnya, di mana hukum materiil berkaitan dengan definisi kejahatan dan hukumannya, sementara hukum pidana formil berkaitan dengan implementasi praktis hukum pidana, termasuk proses peradilan dan hak-hak individu dalam sistem peradilan pidana. Kedua aspek ini bekerja bersama untuk memastikan bahwa penanganan tindak kriminal dilakukan dengan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.